Sabtu, 07 Maret 2015

MENTARI PENGHARGAAN



I message received

Selamat tidur , semoga mimpi indah. Ku harap esok matahari kan bersinar lagi, untuk kita.

                Malam merangkak, meninggalkan labuhan senja yang detik demi detik semakin menjauh. Di langit tiada bintang, sekumpulan awan tipis, tipis sekali. Menghalangi kilauannya untuk hinggap di mataku. Bulanpun tiada, hingga jadilah malamini kelam laksana lorong hitam yang tiada berujung. Aku ingat, malamini adalah pergantian bulan, masihkah ia bersedia menampakkan wujudnya untukku? Ku rasa tidak, karena dunia bagiku kini kelam tiada berarah. Itu semua karna aku ingat kau

                Aku ingat semuanya. Rambutmu, wajahmu, suaramu, semuanya indah. Kau seakan kumpulan warisan anugerah Tuhan, sempurna tiada bernoda. Tiada yang salah dimataku. Bagiku, memiliki dan menyandingmu adalah kebahagiaan tiada tara, yang akan tertandingi oleh dalamnya laut, tingginya gunung. Walaupun akhirnya aku harus bisa menerima semuanya.

                Mencintaimu mewujudkan impian kebahagiaanku menjadi nyata. Semuanya terasa indah terutama saat kau berada disampingku. Namun dibalik itu semua, aku juga tidak bisa mengingkari bahwa sebenarnya mencintaimu juga mendatangkan kekhawatiran baru. Khawatir akan dirimu dan hari esok yang tiada pernah pasti untukku.

                Aku, sebagai manusia biasa, bagaian dari kebanyakan, hanya berharap sepenuh hati adar Dia sudi memberikan keajaiban kecil-Nya untukku. Untuk orang yang selama ini telah mengajarkanku banyak hal tentang hidup dan harapan. Kau juga telah mencurahkan aliran kebahagiaan bagi jiwaku yang kososng. Kau memberiku pemahaman akan mencintai dan dicintai.

                Dari itu semua, aku sadar sepenuhnya bahwa aku tak akan bisa melepasmu walau suatu saat nanti kau tidak lagi berada disampingku. Ah, kenapa semua terjadi..

                Malam terus beranjak seiring dingin yang terus membeku. Semuanya telah terlelap, mudah-mudahan juga dirimu, berselimut mimpi berbantal nyaman. Namun entah kenapa, mataku yang picik ini tiada mau terpejam. Mungkinkah karena kekhawatiranku terlalu besar untukmu? Ya, aku khawatir, sangat khawatir malah mengingat dirimu disana. Barangkali saat ini kaupun belum tidur. Aku membayangkan di sana kau sedang duduk berpeluh dingin, mengumpulkan nafas-nafas terakhirmu demi menyambung hidup. Sementara tiada orang lain yang membantumu, termasuk aku, orang yang katanya cinta mati kepadamu.

                Aku sadar, penderitaanmu sudah terlalu cukup untuk ukuran seorang gadis belia sepertimu. Bella, karena minggu kemarinkau dan aku baru saja merayakan ulang tahun ke-tujuh belasmu. Saat itu kau terlihat sangat bahagia. Senyum indah selalu terukir di bibirmu kala itu. Kau seakan lupa akan derita yang kau tanggung. Dan akupun tak bersedia merusak kebahagiaanmu waktu itu dan sekarang.

                Kalau boleh aku jujur, aku akan mengatakan jauh dari dalam lubuk hatiku terdalam bahwa aku tidak akan pernah sanggup untuk hidup tanpa seorang gadis cantik disampingku, dan itu adalah kau. Namun bagaimanapun aku akan menyimpan itu sebagai rahasiaku sendiri. Hanya ku dan Tuhan yang tahu.

Tiada terasa, hingga saat ini genap setahun semenjak kita pertama berkenalan. Aku merasa selama ini hariku begitu sempurna dengan adanya kau di sisiku.

Ingatanku masih sangat jelas ketika suatu malam aku menerima sebuah pesan singkat. Dan itu berasal darimu.

Selamat malam.. Boleh kenalan? Maaf mengganggu..

Itulah sekerat pesan yang aku baca di ponselku. Pikiranku melayang cepat mencoba menganalisis dan menebak nomor baru yang masuk ke ponselku.

Lalu entah kekuatan apa yang mendorongku untuk segera membalas pesanmu. Maka jadilah itu sebagai awal dari secuil kisah hidup yang melanda kita.

Dari momen itu, kita terus berhubungan meskipun lewat pesan-pesan singkat melalui udara. Tiap malam kau mengirimiku pesan, berisi cerita hidup yang baru saja kau alami. Pun aku, dengan sukarela dan tulus selalu membalas pesanmu. Tidak jarang kau juga bertanya tentang perasaanmu. Kau bertanya kenapa hatimu begini, begitu, dan aku dengan segala kekuranganku mencoba menjawabnya. Kau ceritakan seluruhnya tentangmu, kau begitu terbuka.

Dari situ, aku merasa senang dan bahagia. Sebab selama ini tiada seorang gadispun yang pernah akrab denganku, hanya kau seorang. Walaupun saat itu aku sadar kita belum pernah bertemu

Hari-hariku, malam-malamku selalu diisi oleh getaran-getaran ponsel yang menandakan bahwa aku telah menerima pesan. Perlahan aku mulai merasa kehilangan jika sehari saja tidak menerima ucapanmu.

Lalu, untuk berikutnya tidak sangkan kau memintaku untuk menemuimu. Ya, jalan hidup telah menuntun kita untuk bertemu. Kau dan aku ternyata tinggal di satu kota yang sama. Hanya terpisah oleh jarak beberapa kilo. Haruskah aku menemuimu?

Aku saat itu bimbang, apakah harus menyanggupi permintaanmu atau malah sebaliknya. Aku takut akan ada yang kecewa antara kita jika seandainya terjadi sebuah pertemuan. Aku takut kau tidak terima keadaanku. Namun jujur, ketakutan yang terbesar adalah aku tidak siap menerima seandainya kau tidak seperti yang aku bayangkan.

Tapi sudahlah, aku akan lebih bahagia, jika bertemu denganmu saat itu. Dan benar nyatanya, sejak kita bertemu aku merasa senang, semuanya indah. Semanjak itu kita telah mengisi hari melukis awan untuk mewujudkan impian kebahagiaan.

“Van, bolehkah aku bertanya?”

Kalimatmu memecah kesunyian malam. Ya, malam ini terlalu sunyi untuk kita. Aku tak tahu kenapa malam ini berubah drastis. Kau yang biasanya ceria, paling tidak sebuah senyum selalu menghiasi bibirmu, berubah menjadi murung dan tidak bersemangat.

Sejenak aku diam, seiring sepinya malam di tempat ini. Tempat ini, taman di halaman rumahmu, selalu menjadi saksi bisu setiap kali kita bertemu. Aku sering berpikir kenapa di tempat ini kau selalu menungguku? Apakah karna kau takut jauh dari rumahmu? Atau kau tidak mempercayaiku jika ku ajak ke tempat lain? Entahlah.

Mengenai pertanyaanmu tadi, juga sangat janggal. Kau sangat berbeda, tidak seperti biasanya yang bicara langsung tanpa harus meminta izin kepadaku, lalu kenapa malam ini kau mohon izinku terlebih dahulu? Suaramu, suaramu juga berubah. Nada suaramu  pada kalimat tanya di atas bergetar seakan menahan sesak yang luar biasa dari dalam dadamu.

Aku masih diam. Menatap lurus sebuah bunga mawar di hadapanku. Tanpa kita sadari, bunga itu telah menjadi saksi untuk setiap pertemuan yang kita lakukan.

“Van, tidakkah kau sadar kita telah beberapa kali bertemu, ditempat ini?” lanjutmu.

Aku masih diam membisu, masih dalam ketidakmengertianku atas perubahanmu. Kulihat diatas sana, sekerat bulan ditutupi awan tipis.

“Jika aku boleh jujur, engaku adalah pria pertama yang telah mengetuk pintu hatiku yang agak sedikit lagi berkarat. Bahkan seandainya kau tidak ada, pintu hatiku dipastikan lapuk dimakan kumbang kayu seiring berlalunya diriku dari dunia.” suaramu semakin bergetar ketika kata demi kata itu engkau susun menjadi kalimat panjang.

Setelah itu kau diam. Mungkin kau juga ingin meresapi sepi ditaman ini. Pun aku, masih terlalu susah untuk keluar dari lamunan. Perlahan aku lahap kalimatmu, aku resapi artinya dan aku terjemahkan maknanya. Malam kian beranjak.

“berlalu dari dunia? Apa maksudmu? Apa kau akan meninggalkanku? Jangan, jangan kau berpikir terlalu jauh. Aku masih ingin mewarnai hariku, harimu, dengan seribu suka sejuta tawa. Kau harusnya juga tahu, bahwa aku tak mungkin nyaman tanpa adanya seorang penyejuk disampingku.  Ya, walaupun aku sadar, usia kita masih terlalu dini untuk membincangkan hal itu.”

Diam. Udara menepi seakan memberikan jalan khusus bagi pikiran-pikiran kita untuk terbang ke ruang imaji, bebas, entah apa yang ada di dalam pikiranmu kini, entah kau memikirkan ucapanku atau malah memikirkan esok. Namun yang pasti, aku masih memikirkan ucapanmu yang terakhir. Rasanya terlalu aneh jika dititik dari arti yang tersimpan di baliknya. Keheningan masih meraja. Lama.

“Van, boleh aku bertanya lagi?”

Anggukan dariku menandakan kesediaanku untuk mendengar tanyamu.

“Selama ini kita bertemu..” suaramu makin bergetar, kau mengacuhkan pertanyaanmu. Entah apa yang kau rasakan. Tampaknya terlalu berat untuk kau ungkapkan. Sesaat setelah memandang wajah indahmu, mataku menangkap setetes air jatuh dari indra lihatmu yang sempurna. Sangat jelas ku llihat, meski dibawah remang malam. Kau menangis.

“selama ini kita bertemu.. Tidakkah pernah timbul dibenakmu suatu pertanyaan. Ten.. Tentang kenapa wajahku pucat?”

Pucat. Baru aku menyadari bahwa ternyata benar wajah cantikmu pucat, layaknya bulan yang ditutupi awan tipis malam ini.

“kenapa? Bagiku tiada yang salah diwajahmu, dengan pucatmu. Kau terlalu sempurna, cantik, dambaan bagi setiap insan yang mengharap keanggunan. Dimataku, kau dengan pucatmu tetaplah kau, orang yang pertama kali ku kenal melalui pesan singkat.” jawabku. Hanya itu. Yang lain tak bisa lagi ku ungkap seiring dingin dan misterinya arah pembicaraanmu.

“Van, aku ingin jujur padamu, agar kelak kau tidak terkejut dan malah meninggalkanku tanpa alasan. Tahukah kau, aku pucat karena seharian aku harus tinggal dalam rumah tanpa sinar matahari langsung. Pada setiap kali pertemuan kita, aku mengajakmu disini, taman di halaman rumahku ini. Bukan apa-apa, aku sebenarnya ingin merasakan langsung cahaya matahari dan menikmati kerlap-kerlip lampu di malam hari. Tapi aku tak bisa, aku harus istirahat..” suaramu terputus. Kulihat tetes-tetes air bening makin deras jatuh dari matamu.

“kenapa?”

“aku..” semakin deras air matamu.

“aku divonis kanker darah..”

Aku terkejut luar biasa. Dunia seakan berputar. Kelam makin menjadi, dinginpun makin menusuk.

“aku..aku juga divonis akan menghembuskan napas terakhir di ujung bulan ini.”

Sunyi. Dingin. Tak ada kata-kata yang terucap selanjutnya. Tangismu pun makin berderai.
Malam makin larut. Akhirnya pertemuan kita usai sudah. Pertemuan kali ini memberi arti lain akan makna dicinta dan mencinta. Aku akan tetap menyanyangmu meski apapun yang telah tersurat dalam kitab takdirmu.

Ya, aku tetap menyanyangmu

Mataku semakin tak bisa diajak mengatup. Bayangan-bayanganmu tetap menari gemulai dalam proyektor otakku. Aku ingat kamu, dan akhir bulan yang kau katakan. Sekarang akhir bulan.

Hatiku makin perih tatkala memoriku kembali menjelajah pertemuan kita sebulan lalu. Disana, saat itu, kau menangis sejadi-jadinya, mengabarkan rahasia besarmu. Walau sampai kemarin kita masih bertemu dan kau masih sehat, aku tak bisa memungkiri bahwa sebenarnya aku hancur di dalam. Hancur mengenang nasibmu dan mengenang kisah kita tidak kesampaian. Layaknya kisah usang Siti Nurbaya atau Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk milik Hamka. Ya, walaupun aku sadari kisah kita tidaklah serumit itu.

Dingin makin membalut mengantarku dalam ketakutan tak menentu dan dalam harapan agar esok matahari tetap bersinar untukku, untuk kita. Dan lamunan-lamunan itu membawaku pada suatu kesimpulan bahwa yang berada di atas ini semua adalah Dia Yang Maha Kuasa. Do’aku semoga ia mempertautkan napas-napasmu, paling tidak untuk sehari esok. Amin..

Aku terlelap. Matahari baru akan naik, burung masih berkicau dan embun masih setia diujung rumput. Ponselku bergetar

I message received

From : Bella
Selamat pagi. Matahari masih bersinar. Untuk kita. 

#SY

2 komentar:

  1. Bagus, artikelnya menarik, penulisannya bagus, back ground juga mantap....Like:)

    BalasHapus
  2. ceritanya menarik dan bagus..... keren :)

    BalasHapus