I message received
Selamat tidur , semoga mimpi
indah. Ku harap esok matahari kan bersinar lagi, untuk kita.
Malam
merangkak, meninggalkan labuhan senja yang detik demi detik semakin menjauh. Di
langit tiada bintang, sekumpulan awan tipis, tipis sekali. Menghalangi
kilauannya untuk hinggap di mataku. Bulanpun tiada, hingga jadilah malamini
kelam laksana lorong hitam yang tiada berujung. Aku ingat, malamini adalah
pergantian bulan, masihkah ia bersedia menampakkan wujudnya untukku? Ku rasa
tidak, karena dunia bagiku kini kelam tiada berarah. Itu semua karna aku ingat
kau
Aku
ingat semuanya. Rambutmu, wajahmu, suaramu, semuanya indah. Kau seakan kumpulan
warisan anugerah Tuhan, sempurna tiada bernoda. Tiada yang salah dimataku.
Bagiku, memiliki dan menyandingmu adalah kebahagiaan tiada tara, yang akan
tertandingi oleh dalamnya laut, tingginya gunung. Walaupun akhirnya aku harus
bisa menerima semuanya.
Mencintaimu
mewujudkan impian kebahagiaanku menjadi nyata. Semuanya terasa indah terutama
saat kau berada disampingku. Namun dibalik itu semua, aku juga tidak bisa
mengingkari bahwa sebenarnya mencintaimu juga mendatangkan kekhawatiran baru.
Khawatir akan dirimu dan hari esok yang tiada pernah pasti untukku.
Aku,
sebagai manusia biasa, bagaian dari kebanyakan, hanya berharap sepenuh hati
adar Dia sudi memberikan keajaiban kecil-Nya untukku. Untuk orang yang selama
ini telah mengajarkanku banyak hal tentang hidup dan harapan. Kau juga telah
mencurahkan aliran kebahagiaan bagi jiwaku yang kososng. Kau memberiku
pemahaman akan mencintai dan dicintai.
Dari
itu semua, aku sadar sepenuhnya bahwa aku tak akan bisa melepasmu walau suatu
saat nanti kau tidak lagi berada disampingku. Ah, kenapa semua terjadi..
Malam
terus beranjak seiring dingin yang terus membeku. Semuanya telah terlelap,
mudah-mudahan juga dirimu, berselimut mimpi berbantal nyaman. Namun entah
kenapa, mataku yang picik ini tiada mau terpejam. Mungkinkah karena
kekhawatiranku terlalu besar untukmu? Ya, aku khawatir, sangat khawatir malah
mengingat dirimu disana. Barangkali saat ini kaupun belum tidur. Aku
membayangkan di sana kau sedang duduk berpeluh dingin, mengumpulkan nafas-nafas
terakhirmu demi menyambung hidup. Sementara tiada orang lain yang membantumu,
termasuk aku, orang yang katanya cinta mati kepadamu.
Aku
sadar, penderitaanmu sudah terlalu cukup untuk ukuran seorang gadis belia
sepertimu. Bella, karena minggu kemarinkau dan aku baru saja merayakan ulang
tahun ke-tujuh belasmu. Saat itu kau terlihat sangat bahagia. Senyum indah
selalu terukir di bibirmu kala itu. Kau seakan lupa akan derita yang kau
tanggung. Dan akupun tak bersedia merusak kebahagiaanmu waktu itu dan sekarang.
Kalau
boleh aku jujur, aku akan mengatakan jauh dari dalam lubuk hatiku terdalam
bahwa aku tidak akan pernah sanggup untuk hidup tanpa seorang gadis cantik
disampingku, dan itu adalah kau. Namun bagaimanapun aku akan menyimpan itu
sebagai rahasiaku sendiri. Hanya ku dan Tuhan yang tahu.
Tiada terasa, hingga saat ini
genap setahun semenjak kita pertama berkenalan. Aku merasa selama ini hariku
begitu sempurna dengan adanya kau di sisiku.
Ingatanku masih sangat jelas
ketika suatu malam aku menerima sebuah pesan singkat. Dan itu berasal darimu.
Selamat malam.. Boleh kenalan?
Maaf mengganggu..
Itulah sekerat pesan yang aku
baca di ponselku. Pikiranku melayang cepat mencoba menganalisis dan menebak
nomor baru yang masuk ke ponselku.
Lalu entah kekuatan apa yang
mendorongku untuk segera membalas pesanmu. Maka jadilah itu sebagai awal dari
secuil kisah hidup yang melanda kita.
Dari momen itu, kita terus
berhubungan meskipun lewat pesan-pesan singkat melalui udara. Tiap malam kau
mengirimiku pesan, berisi cerita hidup yang baru saja kau alami. Pun aku,
dengan sukarela dan tulus selalu membalas pesanmu. Tidak jarang kau juga
bertanya tentang perasaanmu. Kau bertanya kenapa hatimu begini, begitu, dan aku
dengan segala kekuranganku mencoba menjawabnya. Kau ceritakan seluruhnya
tentangmu, kau begitu terbuka.
Dari situ, aku merasa senang dan
bahagia. Sebab selama ini tiada seorang gadispun yang pernah akrab denganku,
hanya kau seorang. Walaupun saat itu aku sadar kita belum pernah bertemu
Hari-hariku, malam-malamku selalu
diisi oleh getaran-getaran ponsel yang menandakan bahwa aku telah menerima
pesan. Perlahan aku mulai merasa kehilangan jika sehari saja tidak menerima
ucapanmu.
Lalu, untuk berikutnya tidak
sangkan kau memintaku untuk menemuimu. Ya, jalan hidup telah menuntun kita
untuk bertemu. Kau dan aku ternyata tinggal di satu kota yang sama. Hanya
terpisah oleh jarak beberapa kilo. Haruskah aku menemuimu?
Aku saat itu bimbang, apakah
harus menyanggupi permintaanmu atau malah sebaliknya. Aku takut akan ada yang
kecewa antara kita jika seandainya terjadi sebuah pertemuan. Aku takut kau
tidak terima keadaanku. Namun jujur, ketakutan yang terbesar adalah aku tidak
siap menerima seandainya kau tidak seperti yang aku bayangkan.
Tapi sudahlah, aku akan lebih
bahagia, jika bertemu denganmu saat itu. Dan benar nyatanya, sejak kita bertemu
aku merasa senang, semuanya indah. Semanjak itu kita telah mengisi hari melukis
awan untuk mewujudkan impian kebahagiaan.
“Van, bolehkah aku bertanya?”
Kalimatmu memecah kesunyian
malam. Ya, malam ini terlalu sunyi untuk kita. Aku tak tahu kenapa malam ini
berubah drastis. Kau yang biasanya ceria, paling tidak sebuah senyum selalu
menghiasi bibirmu, berubah menjadi murung dan tidak bersemangat.
Sejenak aku diam, seiring sepinya
malam di tempat ini. Tempat ini, taman di halaman rumahmu, selalu menjadi saksi
bisu setiap kali kita bertemu. Aku sering berpikir kenapa di tempat ini kau
selalu menungguku? Apakah karna kau takut jauh dari rumahmu? Atau kau tidak
mempercayaiku jika ku ajak ke tempat lain? Entahlah.
Mengenai pertanyaanmu tadi, juga
sangat janggal. Kau sangat berbeda, tidak seperti biasanya yang bicara langsung
tanpa harus meminta izin kepadaku, lalu kenapa malam ini kau mohon izinku
terlebih dahulu? Suaramu, suaramu juga berubah. Nada suaramu pada kalimat tanya di atas bergetar seakan
menahan sesak yang luar biasa dari dalam dadamu.
Aku masih diam. Menatap lurus
sebuah bunga mawar di hadapanku. Tanpa kita sadari, bunga itu telah menjadi
saksi untuk setiap pertemuan yang kita lakukan.
“Van, tidakkah kau sadar kita
telah beberapa kali bertemu, ditempat ini?” lanjutmu.
Aku masih diam membisu, masih
dalam ketidakmengertianku atas perubahanmu. Kulihat diatas sana, sekerat bulan
ditutupi awan tipis.
“Jika aku boleh jujur, engaku
adalah pria pertama yang telah mengetuk pintu hatiku yang agak sedikit lagi
berkarat. Bahkan seandainya kau tidak ada, pintu hatiku dipastikan lapuk
dimakan kumbang kayu seiring berlalunya diriku dari dunia.” suaramu semakin
bergetar ketika kata demi kata itu engkau susun menjadi kalimat panjang.
Setelah itu kau diam. Mungkin kau
juga ingin meresapi sepi ditaman ini. Pun aku, masih terlalu susah untuk keluar
dari lamunan. Perlahan aku lahap kalimatmu, aku resapi artinya dan aku
terjemahkan maknanya. Malam kian beranjak.
“berlalu dari dunia? Apa
maksudmu? Apa kau akan meninggalkanku? Jangan, jangan kau berpikir terlalu
jauh. Aku masih ingin mewarnai hariku, harimu, dengan seribu suka sejuta tawa.
Kau harusnya juga tahu, bahwa aku tak mungkin nyaman tanpa adanya seorang
penyejuk disampingku. Ya, walaupun aku
sadar, usia kita masih terlalu dini untuk membincangkan hal itu.”
Diam. Udara menepi seakan
memberikan jalan khusus bagi pikiran-pikiran kita untuk terbang ke ruang imaji,
bebas, entah apa yang ada di dalam pikiranmu kini, entah kau memikirkan
ucapanku atau malah memikirkan esok. Namun yang pasti, aku masih memikirkan
ucapanmu yang terakhir. Rasanya terlalu aneh jika dititik dari arti yang
tersimpan di baliknya. Keheningan masih meraja. Lama.
“Van, boleh aku bertanya lagi?”
Anggukan dariku menandakan
kesediaanku untuk mendengar tanyamu.
“Selama ini kita bertemu..” suaramu
makin bergetar, kau mengacuhkan pertanyaanmu. Entah apa yang kau rasakan.
Tampaknya terlalu berat untuk kau ungkapkan. Sesaat setelah memandang wajah
indahmu, mataku menangkap setetes air jatuh dari indra lihatmu yang sempurna.
Sangat jelas ku llihat, meski dibawah remang malam. Kau menangis.
“selama ini kita bertemu..
Tidakkah pernah timbul dibenakmu suatu pertanyaan. Ten.. Tentang kenapa wajahku
pucat?”
Pucat. Baru aku menyadari bahwa
ternyata benar wajah cantikmu pucat, layaknya bulan yang ditutupi awan tipis
malam ini.
“kenapa? Bagiku tiada yang salah
diwajahmu, dengan pucatmu. Kau terlalu sempurna, cantik, dambaan bagi setiap
insan yang mengharap keanggunan. Dimataku, kau dengan pucatmu tetaplah kau,
orang yang pertama kali ku kenal melalui pesan singkat.” jawabku. Hanya itu.
Yang lain tak bisa lagi ku ungkap seiring dingin dan misterinya arah
pembicaraanmu.
“Van, aku ingin jujur padamu,
agar kelak kau tidak terkejut dan malah meninggalkanku tanpa alasan. Tahukah
kau, aku pucat karena seharian aku harus tinggal dalam rumah tanpa sinar
matahari langsung. Pada setiap kali pertemuan kita, aku mengajakmu disini,
taman di halaman rumahku ini. Bukan apa-apa, aku sebenarnya ingin merasakan
langsung cahaya matahari dan menikmati kerlap-kerlip lampu di malam hari. Tapi
aku tak bisa, aku harus istirahat..” suaramu terputus. Kulihat tetes-tetes air
bening makin deras jatuh dari matamu.
“kenapa?”
“aku..” semakin deras air matamu.
“aku divonis kanker darah..”
Aku terkejut luar biasa. Dunia
seakan berputar. Kelam makin menjadi, dinginpun makin menusuk.
“aku..aku juga divonis akan
menghembuskan napas terakhir di ujung bulan ini.”
Sunyi. Dingin. Tak ada kata-kata
yang terucap selanjutnya. Tangismu pun makin berderai.
Malam makin larut. Akhirnya
pertemuan kita usai sudah. Pertemuan kali ini memberi arti lain akan makna
dicinta dan mencinta. Aku akan tetap menyanyangmu meski apapun yang telah
tersurat dalam kitab takdirmu.
Ya, aku tetap menyanyangmu
Mataku semakin tak bisa diajak
mengatup. Bayangan-bayanganmu tetap menari gemulai dalam proyektor otakku. Aku
ingat kamu, dan akhir bulan yang kau katakan. Sekarang akhir bulan.
Hatiku makin perih tatkala
memoriku kembali menjelajah pertemuan kita sebulan lalu. Disana, saat itu, kau
menangis sejadi-jadinya, mengabarkan rahasia besarmu. Walau sampai kemarin kita
masih bertemu dan kau masih sehat, aku tak bisa memungkiri bahwa sebenarnya aku
hancur di dalam. Hancur mengenang nasibmu dan mengenang kisah kita tidak
kesampaian. Layaknya kisah usang Siti Nurbaya atau Tenggelamnya Kapal Van Der
Wijk milik Hamka. Ya, walaupun aku sadari kisah kita tidaklah serumit itu.
Dingin makin membalut mengantarku
dalam ketakutan tak menentu dan dalam harapan agar esok matahari tetap bersinar
untukku, untuk kita. Dan lamunan-lamunan itu membawaku pada suatu kesimpulan
bahwa yang berada di atas ini semua adalah Dia Yang Maha Kuasa. Do’aku semoga
ia mempertautkan napas-napasmu, paling tidak untuk sehari esok. Amin..
Aku terlelap. Matahari baru akan
naik, burung masih berkicau dan embun masih setia diujung rumput. Ponselku
bergetar
I message received
From : Bella
#SY
Bagus, artikelnya menarik, penulisannya bagus, back ground juga mantap....Like:)
BalasHapusceritanya menarik dan bagus..... keren :)
BalasHapus